Setelah sekian lama penantian dan persiapan selama kurang
lebih 3 bulan, akhirnya di pertengahan bulan Mei 2015 pendakian saya kali ini
dapat terealisasikan. Saya bergegas mempacking carrier saya untuk menuju Balikpapan ke Kota Padang, dengan
mengambil rute transit melalui Batam, perjalanan panjang dari Samarinda selama
kurang lebih 3 jam dan akhirnya sampai di Kota Padang dengan total tempuh
hampir 10 jam dengan mendarat mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Ranah
minang memberikan sambutan hangatnya ketika sore hari itu saya tiba dengan
hamparan garis pantai yang memanjang dan jajaran pegunungan Bukit Barisan
membuat saya jatuh hati dengan keindahan alam Sumatera Barat dari atas udara
saja sudah begini apalagi ketika saya benar-benar menjelajahinya.
Tujuan utama saya ke Sumatera Barat adalah untuk menapaki “Sekepal
Tanah dari Surga” atau biasa disebut dengan “Atap Sumatera” tidak lain adalah
Gunung Kerinci yang terletak di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi, namun saya
memilih melalui rute Sumatera Barat karena kemudahan akses, biaya, dan waktu
untuk menuju ke lokasi desa terakhir sebelum pendakian yaitu Desa Kersik Tuo,
Kecamatan Kayu Aro. Gunung Kerinci adalah titik Gunung Berapi tertinggi di-Indonesia
atau tertinggi kedua setelah Cartenz Pyramid di Pegunungan Jayawija, Papua
dengan ketinggian 3.805 meter diatas permukaan laut. Ini adalah puncak ketiga
saya dalam daftar 7 Gunung tertinggi di Indonesia setelah sebelumnya di Gunung
Semeru dan Rinjani, dalam beberapa tahun terakhir ini saya bertekad untuk
menyelesaikan ketujuh rangkaian tersebut. Gunung Kerinci termasuk didalam
lokasi Taman Nasional Gunung Kerinci Seblat dengan luas lahan konservasi
1.484.650 hektar dengan habitat asli adalah Harimau Sumatera dan Badak
Sumatera.
Selama di Kota Padang saya menumpang di kediaman Uda Riko
yang biasa digunakan sebagai basecamp
Padang Backpacker atau “Rumah
Singgah” bagi para backpacker. Di
rumah singgah inilah kami menentukan meeting point sebelum menuju desa terakhir
sambil menunggu rombongan lain yang baru akan tiba esok hari-nya. Jumlah team
untuk pendakian kali ini berjumlah 8 orang, 2 orang lebih dahulu tiba sehari
sebelumnya, akhirnya malam itu dihabiskan dengan saling berinteraksi sosial,
makan malam dan beristirahat dengan pulas.
Tepat pukul 10 siang rombongan terakhir tiba di basecamp, kami lalu bergegas segera
menuju Desa Kersik Tuo agar tidak terlalu malam sampai di penginapan. Kurang
lebih 9 jam perjalanan panjang berkelok-kelok melewati jalan berbukit-bukit
akhirnya kami tiba di penginapan Paiman sekitar jam 8 malam, mungkin kami
terlalu lama istirahat makan pada saat berangkat dan sore hari-nya. Disini
mayoritas penduduk adalah transmigran dari Pulau Jawa, konon dahulu
dipekerjakan sebagai pekebun di kebun-kebun teh dan kopi.
Sejuk. Pagi hari itu berselimutkan kabut tipis, pelan-pelan
dengan gagahnya Gunung Kerinci menunjukkan pesonanya. Setiap pendaki yang ingin
mendaki Gunung Kerinci sebelumnya wajib untuk mengurus surat perizinan berupa
Simaksi, beruntunglah penginapan tempat kami menginap bersedia membantu untuk
mengurus perizinan kami dengan beberapa fotocopy KTP dan data diri kami
diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan. Selesai sarapan kami bergegas
menuju Pintu Rimba, pintu masuk utama menuju lebatnya hutan hujan tropis
Sumatera dan langkah awal menuju Atap Sumatera. Hanya do’a kepada Tuhan YME dan
kewaspadaan kamilah yang nantinya akan menentun jalan keselamatan kami.
Perjalanan awal dari Pintu Rimba melewati Pos I dan Pos II
kami habiskan selama 40 menit dengan trek yang masih landai namun sedikit becek
serta vegetasi yang cukup lebat. Setelah cukup beristirahat selama 10 menit
kami melanjutkan perjalanan menuju Pos III, di pos III ini terdapat sebuah
pondok atau gazebo bagi setiap pendaki untuk duduk beristirahat sebentar
sebelum melanjutkan pendakian menuju Shelter I. Selama beberapa menit
beristirahat di Pos III kami sering dihampiri beberapa kawanan Tupai yang
mendekati kami, mungkin Tupai tersebut sudah terbiasa berinteraksi dengan
manusia sehingga berani untuk mendekat, namun tidak sampai disentuh.
Melanjutkan kembali perjalanan menuju Shelter I dimana jalur pendakian sudah
mulai cukup menajak dan curam, diperlukan kecekatan tangan untuk bertempu pada
akar-akar dan ranting pohon serta memilih pijakan yang tepat. Kurang lebih
pukul 12 siang kami tiba di Shelter I yang merupakan tanah lapang yang cukup
luas. Kami membuka perbekalan berupa Nasi Bungkus yang kami siapkan dari
penginapan untuk menghemat waktu daripada harus memasak perbekalan yang harus
repot-repot membongkar isi tas. Kurang lebih 1 jam beristirahat, makan dan
beribadah kami melanjutkan kembali menuju Shelter II, jalur pendakian sama
seperti dari Pos III ke Shelter I namun vegetasi rapat sudah mulai berganti
berupa vegetasi tamanan perdu/pendek dan suhu udara sudah mulai lebih dingin.
Perjalan Shelter I ke Shelter II adalah jalur trek terpanjang dan paling
menyita waktu dalam pendakian di Gunung Kerinci daripada jarak Pos/Shelter
lainnya, jadi jalur ini benar-benar merupakan ujian bagi para pendaki. Ketika
kami tiba di Shelter II disambut dengan gerimis hujan yang memaksa kami untuk
beristirahat sejenak disebidang tanah yang tidak cukup luas yang hanya cukup 3
– 4 tenda sebelum menuju Shelter III/Pos camp terakhir.
Kurang lebih 30 menit kami beristirahat di Shelter II
waktupun telah menunjukan pukul 5 sore. Kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan menuju Shelter bayangan sebelum Shelter III, karena tidak mungkin
untuk mengejar waktu menuju Shelter III karena kondisi team sudah mulai cukup kelelahan dan juga memakan waktu kurang
lebih 2 jam. Perjalanan dari Shelter II ke Shelter III adalah berupa
lorong-lorong dari tanaman perdu dan juga merupakan jalur air sehingga ketika
hujan gerimis tersebut jalan menjadi sangat licin dan becek menambah berat
pendakian kami, beruntung sebelum magrib tiba kami tiba di Shelter bayangan dan
segera mendirikan tenda dan menghangatkan tubuh dengan minuman hangat dan
bersiap untuk memasak perbekalan sebelum beristirahat untuk tidur untuk melakukan
Summit Attack.
Summit Attack adalah hal yang lumrah dilakukan oleh pendaki
ketika mendaki gunung, meski tidak ada kewajiban untuk mencapai puncak. Biasa
mulai dilakukan pukul 12 malam atau pukul 2 malam tergantung kondisi dan jarak
tempuh pendakian tersebut. Ketika itu kami melakukan Summit Attack pukul 3
malam setelah beristirahat dengan cukup, meyiapkan perbekalan menuju puncak,
kami mengisi perut terlebih dahulu di dinginnya Gunung Kerinci yang hampir
menebus 5° Celcius ketika saya mengecek suhu melalui thermometer jam tangan.
Kami pun berdo’a dan berserah diri agar diberikan kelancaran dan kemudahan
untuk menuju puncak Gunung Kerinci. Kurang lebih 1 jam perjalanan kami tiba di
Shelter III atau camp terakhir, terdapat beberapa tenda pendaki dengan riuh
rendah juga sedang mempersiapkan diri menuju puncak. Tanpa kami sadari kami
adalah team pertama yang bergerak menuju puncak sebab tidak ada sinar lampu
lain yang pelan-pelan merayap di kegelapan malam lereng Gunung Kerinci kecuali
sinar-sinar lampu dari lereng dibawah kami. Trek berpasir dan curam serta
berbatu vulkanis menjadi teman perjalanan kami subuh itu, dinginnya udara dan
hembusan kencang angin mulai terasa sebab tidak ada lagi vegetasi yang menutupi
jalur sepanjang jalur Shelter III menuju puncak. Pelan-pelan tapi pasti itulah
kunci kami untuk menuju puncak Indrapura – nama puncak Gunung Kerinci – tinggal
sedikit lagi gumam saya ketika sampai di pertengahan lereng berupa lahan datar
berpasir dan berbatu, ini adalah Tugu Yudha, tempat dimana seorang Siswa
Pecinta Alam asal Jakarta menghilang dan sampai sekarang belum ditemukan sejak
tahun 90-an. 30 menit setelah berjalan dari Tugu Yudha akhirnya team sampai di
puncak Indrapura dan memang tidak ada team lain selain kami, sujud syukur kami
panjatkan kepada Yang Maha Kuasa telah mempermudah langkah kami. Tidak berapa
lama kemudian rombongan pendaki lain tiba dan kami pun mengucapkan selamat
kepada mereka telah berhasil menapakkan kaki di Atap Sumatera, Sekepal Tanah
dari Surga.
Gunung Kerinci merupakan gunung berapi yang masih aktif, di puncaknya
kami berada di bibir kawah yang sekali-kali menyemburkan materil pasir debu dan
hawa belerang. Sesekali saya mengintip lubang kawah tersebut, sangat dalam dan
curam, saya melangkah hati-hati untuk mengambil beberapa gambar agar tidak
terpeleset jatuh ke dalam kawah. Perlahan-lahan cahaya matahari dari ufuk timur
menghatkan kami dari dinginnya suhu di Gunung Kerinci, nampak dari kejauhan
alur-alur garis horizon cakrawala jingga dengan balutan biru serta pemandangan
Danau Gunung Tujuh –Danau Air Tawar teringgi di Asia Tenggara- tampak di arah
timur. Saya dapat melihat dengan jelas hamparan Samudera Hindia di arah Barat.
Sungguh pemandangan luar biasa dari sini dapat melihat hampir seperempat dari
luasan Pulau Sumatera dari ketinggian Gunung setelah dengan usaha dan jerih
payah untuk menggapainya. Hamparan lautan awan menambah lengkap kesempurnaan
salah satu mahakarya dari Nusantara ini. Hampir tidak terasa kami menghabiskan
waktu 3 jam menikmati suguhan dari Atap Sumatera ini, kamipun bergegas turun
menuju camp dan melanjutkan perjalanan pulang kami menuju Kota Padang. Kesan saya terhadap Gunung Kerinci ini
daripada gunung lainnya yang pernah saya kunjungi adalah jalurnya yang cukup
ekstem dan langsung to the point tanpa harus banyak memutar, hutan hujan tropis
nya serta trek-nya yang berat mulai dari becek dan berpasir. Namun saya cukup
puas dengan pendakian kali ini, sebab selain masih asri dan bersih tidak
terlalu banyak orang yang mendaki gunung ini, pada hari itu menurut data yang
saya dapat tidak sampai 100 orang yang melakukan pendakian, ketika saya berada
di puncak mungkin hanya sekitar 30 orang saja, sangat berbeda dengan
gunung-gunung di Jawa yang hampir 500-1.000 orang yang datang sehingga terkesan
sumpek, belum lagi ulah para pedaki/pengunjung yang tidak kembali membawa turun
kembali sampah bawaan mereka. Sekedar mengingatkan bahwa jadilah
pendaki/pejalan yang bertanggung jawab apabila berada di alam karena kecantikan
negeri ini kitalah yang menjaganya, dan juga Gunung Bukanlah Tempat Sampah!
Penulis :
M. Pribadie Nugraha
Photo : M. Pribadie Nugraha & Rizal
Agustin
Instagram :
@abienugraha