Senin, 09 Januari 2017

Menapaki Atap Sumatera, Sekepal Tanah Dari Surga


Setelah sekian lama penantian dan persiapan selama kurang lebih 3 bulan, akhirnya di pertengahan bulan Mei 2015 pendakian saya kali ini dapat terealisasikan. Saya bergegas mempacking carrier saya untuk menuju Balikpapan ke Kota Padang, dengan mengambil rute transit melalui Batam, perjalanan panjang dari Samarinda selama kurang lebih 3 jam dan akhirnya sampai di Kota Padang dengan total tempuh hampir 10 jam dengan mendarat mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Ranah minang memberikan sambutan hangatnya ketika sore hari itu saya tiba dengan hamparan garis pantai yang memanjang dan jajaran pegunungan Bukit Barisan membuat saya jatuh hati dengan keindahan alam Sumatera Barat dari atas udara saja sudah begini apalagi ketika saya benar-benar menjelajahinya.

Tujuan utama saya ke Sumatera Barat adalah untuk menapaki “Sekepal Tanah dari Surga” atau biasa disebut dengan “Atap Sumatera” tidak lain adalah Gunung Kerinci yang terletak di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi, namun saya memilih melalui rute Sumatera Barat karena kemudahan akses, biaya, dan waktu untuk menuju ke lokasi desa terakhir sebelum pendakian yaitu Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro. Gunung Kerinci adalah titik Gunung Berapi tertinggi di-Indonesia atau tertinggi kedua setelah Cartenz Pyramid di Pegunungan Jayawija, Papua dengan ketinggian 3.805 meter diatas permukaan laut. Ini adalah puncak ketiga saya dalam daftar 7 Gunung tertinggi di Indonesia setelah sebelumnya di Gunung Semeru dan Rinjani, dalam beberapa tahun terakhir ini saya bertekad untuk menyelesaikan ketujuh rangkaian tersebut. Gunung Kerinci termasuk didalam lokasi Taman Nasional Gunung Kerinci Seblat dengan luas lahan konservasi 1.484.650 hektar dengan habitat asli adalah Harimau Sumatera dan Badak Sumatera.

Selama di Kota Padang saya menumpang di kediaman Uda Riko yang biasa digunakan sebagai basecamp Padang Backpacker atau “Rumah Singgah” bagi para backpacker. Di rumah singgah inilah kami menentukan meeting point sebelum menuju desa terakhir sambil menunggu rombongan lain yang baru akan tiba esok hari-nya. Jumlah team untuk pendakian kali ini berjumlah 8 orang, 2 orang lebih dahulu tiba sehari sebelumnya, akhirnya malam itu dihabiskan dengan saling berinteraksi sosial, makan malam dan beristirahat dengan pulas.

Tepat pukul 10 siang rombongan terakhir tiba di basecamp, kami lalu bergegas segera menuju Desa Kersik Tuo agar tidak terlalu malam sampai di penginapan. Kurang lebih 9 jam perjalanan panjang berkelok-kelok melewati jalan berbukit-bukit akhirnya kami tiba di penginapan Paiman sekitar jam 8 malam, mungkin kami terlalu lama istirahat makan pada saat berangkat dan sore hari-nya. Disini mayoritas penduduk adalah transmigran dari Pulau Jawa, konon dahulu dipekerjakan sebagai pekebun di kebun-kebun teh dan kopi.



Sejuk. Pagi hari itu berselimutkan kabut tipis, pelan-pelan dengan gagahnya Gunung Kerinci menunjukkan pesonanya. Setiap pendaki yang ingin mendaki Gunung Kerinci sebelumnya wajib untuk mengurus surat perizinan berupa Simaksi, beruntunglah penginapan tempat kami menginap bersedia membantu untuk mengurus perizinan kami dengan beberapa fotocopy KTP dan data diri kami diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan. Selesai sarapan kami bergegas menuju Pintu Rimba, pintu masuk utama menuju lebatnya hutan hujan tropis Sumatera dan langkah awal menuju Atap Sumatera. Hanya do’a kepada Tuhan YME dan kewaspadaan kamilah yang nantinya akan menentun jalan keselamatan kami.

Perjalanan awal dari Pintu Rimba melewati Pos I dan Pos II kami habiskan selama 40 menit dengan trek yang masih landai namun sedikit becek serta vegetasi yang cukup lebat. Setelah cukup beristirahat selama 10 menit kami melanjutkan perjalanan menuju Pos III, di pos III ini terdapat sebuah pondok atau gazebo bagi setiap pendaki untuk duduk beristirahat sebentar sebelum melanjutkan pendakian menuju Shelter I. Selama beberapa menit beristirahat di Pos III kami sering dihampiri beberapa kawanan Tupai yang mendekati kami, mungkin Tupai tersebut sudah terbiasa berinteraksi dengan manusia sehingga berani untuk mendekat, namun tidak sampai disentuh. Melanjutkan kembali perjalanan menuju Shelter I dimana jalur pendakian sudah mulai cukup menajak dan curam, diperlukan kecekatan tangan untuk bertempu pada akar-akar dan ranting pohon serta memilih pijakan yang tepat. Kurang lebih pukul 12 siang kami tiba di Shelter I yang merupakan tanah lapang yang cukup luas. Kami membuka perbekalan berupa Nasi Bungkus yang kami siapkan dari penginapan untuk menghemat waktu daripada harus memasak perbekalan yang harus repot-repot membongkar isi tas. Kurang lebih 1 jam beristirahat, makan dan beribadah kami melanjutkan kembali menuju Shelter II, jalur pendakian sama seperti dari Pos III ke Shelter I namun vegetasi rapat sudah mulai berganti berupa vegetasi tamanan perdu/pendek dan suhu udara sudah mulai lebih dingin. Perjalan Shelter I ke Shelter II adalah jalur trek terpanjang dan paling menyita waktu dalam pendakian di Gunung Kerinci daripada jarak Pos/Shelter lainnya, jadi jalur ini benar-benar merupakan ujian bagi para pendaki. Ketika kami tiba di Shelter II disambut dengan gerimis hujan yang memaksa kami untuk beristirahat sejenak disebidang tanah yang tidak cukup luas yang hanya cukup 3 – 4 tenda sebelum menuju Shelter III/Pos camp terakhir.

Kurang lebih 30 menit kami beristirahat di Shelter II waktupun telah menunjukan pukul 5 sore. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Shelter bayangan sebelum Shelter III, karena tidak mungkin untuk mengejar waktu menuju Shelter III karena kondisi team sudah mulai cukup kelelahan dan juga memakan waktu kurang lebih 2 jam. Perjalanan dari Shelter II ke Shelter III adalah berupa lorong-lorong dari tanaman perdu dan juga merupakan jalur air sehingga ketika hujan gerimis tersebut jalan menjadi sangat licin dan becek menambah berat pendakian kami, beruntung sebelum magrib tiba kami tiba di Shelter bayangan dan segera mendirikan tenda dan menghangatkan tubuh dengan minuman hangat dan bersiap untuk memasak perbekalan sebelum beristirahat untuk tidur untuk melakukan Summit Attack.



Summit Attack adalah hal yang lumrah dilakukan oleh pendaki ketika mendaki gunung, meski tidak ada kewajiban untuk mencapai puncak. Biasa mulai dilakukan pukul 12 malam atau pukul 2 malam tergantung kondisi dan jarak tempuh pendakian tersebut. Ketika itu kami melakukan Summit Attack pukul 3 malam setelah beristirahat dengan cukup, meyiapkan perbekalan menuju puncak, kami mengisi perut terlebih dahulu di dinginnya Gunung Kerinci yang hampir menebus 5° Celcius ketika saya mengecek suhu melalui thermometer jam tangan. Kami pun berdo’a dan berserah diri agar diberikan kelancaran dan kemudahan untuk menuju puncak Gunung Kerinci. Kurang lebih 1 jam perjalanan kami tiba di Shelter III atau camp terakhir, terdapat beberapa tenda pendaki dengan riuh rendah juga sedang mempersiapkan diri menuju puncak. Tanpa kami sadari kami adalah team pertama yang bergerak menuju puncak sebab tidak ada sinar lampu lain yang pelan-pelan merayap di kegelapan malam lereng Gunung Kerinci kecuali sinar-sinar lampu dari lereng dibawah kami. Trek berpasir dan curam serta berbatu vulkanis menjadi teman perjalanan kami subuh itu, dinginnya udara dan hembusan kencang angin mulai terasa sebab tidak ada lagi vegetasi yang menutupi jalur sepanjang jalur Shelter III menuju puncak. Pelan-pelan tapi pasti itulah kunci kami untuk menuju puncak Indrapura – nama puncak Gunung Kerinci – tinggal sedikit lagi gumam saya ketika sampai di pertengahan lereng berupa lahan datar berpasir dan berbatu, ini adalah Tugu Yudha, tempat dimana seorang Siswa Pecinta Alam asal Jakarta menghilang dan sampai sekarang belum ditemukan sejak tahun 90-an. 30 menit setelah berjalan dari Tugu Yudha akhirnya team sampai di puncak Indrapura dan memang tidak ada team lain selain kami, sujud syukur kami panjatkan kepada Yang Maha Kuasa telah mempermudah langkah kami. Tidak berapa lama kemudian rombongan pendaki lain tiba dan kami pun mengucapkan selamat kepada mereka telah berhasil menapakkan kaki di Atap Sumatera, Sekepal Tanah dari Surga.



Gunung Kerinci merupakan gunung berapi yang masih aktif, di puncaknya kami berada di bibir kawah yang sekali-kali menyemburkan materil pasir debu dan hawa belerang. Sesekali saya mengintip lubang kawah tersebut, sangat dalam dan curam, saya melangkah hati-hati untuk mengambil beberapa gambar agar tidak terpeleset jatuh ke dalam kawah. Perlahan-lahan cahaya matahari dari ufuk timur menghatkan kami dari dinginnya suhu di Gunung Kerinci, nampak dari kejauhan alur-alur garis horizon cakrawala jingga dengan balutan biru serta pemandangan Danau Gunung Tujuh –Danau Air Tawar teringgi di Asia Tenggara- tampak di arah timur. Saya dapat melihat dengan jelas hamparan Samudera Hindia di arah Barat. Sungguh pemandangan luar biasa dari sini dapat melihat hampir seperempat dari luasan Pulau Sumatera dari ketinggian Gunung setelah dengan usaha dan jerih payah untuk menggapainya. Hamparan lautan awan menambah lengkap kesempurnaan salah satu mahakarya dari Nusantara ini. Hampir tidak terasa kami menghabiskan waktu 3 jam menikmati suguhan dari Atap Sumatera ini, kamipun bergegas turun menuju camp dan melanjutkan perjalanan pulang kami menuju Kota Padang.  Kesan saya terhadap Gunung Kerinci ini daripada gunung lainnya yang pernah saya kunjungi adalah jalurnya yang cukup ekstem dan langsung to the point tanpa harus banyak memutar, hutan hujan tropis nya serta trek-nya yang berat mulai dari becek dan berpasir. Namun saya cukup puas dengan pendakian kali ini, sebab selain masih asri dan bersih tidak terlalu banyak orang yang mendaki gunung ini, pada hari itu menurut data yang saya dapat tidak sampai 100 orang yang melakukan pendakian, ketika saya berada di puncak mungkin hanya sekitar 30 orang saja, sangat berbeda dengan gunung-gunung di Jawa yang hampir 500-1.000 orang yang datang sehingga terkesan sumpek, belum lagi ulah para pedaki/pengunjung yang tidak kembali membawa turun kembali sampah bawaan mereka. Sekedar mengingatkan bahwa jadilah pendaki/pejalan yang bertanggung jawab apabila berada di alam karena kecantikan negeri ini kitalah yang menjaganya, dan juga Gunung Bukanlah Tempat Sampah!



Penulis             : M. Pribadie Nugraha
Photo               : M. Pribadie Nugraha & Rizal Agustin
Instagram        : @abienugraha